Jumat, 06 Agustus 2010

Dua Belas Kegiatan Sang Buddha





Upashaka Pandita Sumatijnana

Aku bersujud kepadamu, Sang Pangeran Shakya
Yang tubuhnya bersinar laksana sebuah gunung emas
Yang menjelma dalam keluarga Shakya dengan kemahiran  belas kasih
Dan menakhlukan bala tentara mara dimana makhluk lain tak mampu melakukannya

Sang Buddha Shakyamuni, adalah pangeran yang meninggalkan istananya guna mencapai pencerahan sempurna demi kebajikan bagi semua makhluk yang berada didalam kegelapan didunia kita ini, secara umum dinyatakan bahwa beliau hidup pada antara abab ke 5 atau ke 6 sebelum masehi, meskipun menurut perhitungan penanggalan China dan Tibet jauh lebih awal lagi. Kerajaan Shakya sendiri membentang dilereng pegunungan Himalaya di bagian utara India, yang sekarang masuk sebagai wilayah Nepal.


1. Berikrar untuk menjadi penuntun makhluk hidup dimasa kegelapan

Aku memujimu, engkau yang pertama-tama membangkitkan tekat untuk mencapai pencerahan
Kemudian menyempurnakan kedua penimbunan, kebajikkan dan kebijaksanaan
Melaksanakan perbuatan luar biasa sebagai
Penyelamat makhluk hidup pada masa ini

Sebelum Sang Buddha  terlahir didunia ini ini sebagai Pertapa Shakya, beliau adalah seorang Bodhisattva di Surga Tushita bernama Svetaketu. Sebelumnya, pada jaman ketika umat manusia berusia 20, 000 tahun, beliau menjadi seorang Brahmana siswa dari Sang Buddha Kasyapa, yang sempurna dalam tingkah lakunya. Sang Buddha memprediksikan bahwa dimasa nanti siswanya tersebut akan kembali ke benua Jambudvipa, dibagian selatan dari sistim dunia kita (menurut Abhidharma), yaitu pada akhir masa kemerosotan kalpa ini, dan mencapai Pencerahan Sempurna bagi kebahagiaan semua makhluk. Lahir kembali di Surga Tushita, beliau menyempurnakan sepuluh tingkat Bodhisattvabhumi sesuai dengan tekat serta ramalan terhadap dirinya dalam hidupnya yang sebelumnya, dan beliau dinobatkan sebagai Guru Dharma bagi para dewa dialam surga tersebut. Pada suatu ketika, Svetaketu mendengar beberapa  syair lagu diistana surga yang mengingatkan dirinya terhadap ramalan yang dinyatakan oleh Sang Buddha Dipankara dan Sang Buddha Kasyapa terhadap dirinya dimasa lampau, sehingga ia dengan penuh keberanian memutuskan untuk menjelma kedunia manusia, mencapai penerangan sempurna, mengalahkan pandangan salah serta menyebarluaskan  Dharma didunia manusia dimasa kegelapan,
Bodhisattva Svetaketu selanjutnya mengucapkan ikrar tersebut dihadapan para Buddha serta Bodhisattva dari sepeluh penjuru, dan juga para dewa dewi  surga Tushita, dengan memegang bunga teratai ditangannya sebagai gambaran terhadap tekatnya yang suci. Beliau mewakili aspek Samboghakaya dari Sang Buddha Shakyamuni dan Dewi Prajnaparamita ibu dari semua Buddha, dengan Dharmakaya sebagai hakikatnya yang sejati.


2. Memilih keluarga dan waktu yang tepat untuk mengambil kelahiran  dialam manusia

Sujud kepadamu yang paham akan saatnya telah tiba
Untuk mengembangkan praktik spiritual bagi dewa dan manusia
Yang menetapkan pilihan wangsa dan keturunan laksana seekor gajah
Dari alam surga, kedalam kandungan Ratu Mayadewi

Dalam kebijaksanaannya, Bodhisattva Svetaketu mengetahui bahwa makhluk-makhluk surga sedikit sekali berusaha menjalankan penolakan terhadap samsara serta pengembangan praktik spiritual dikarenakan  tiadanya motivasi, kehidupan mereka yang penuh dengan kenyamanan, kesenangan dan panjang umur. Sebaliknya diujung akhir kalpa dijaman Kaliyuga, beliau melihat bahwa masa hidup manusia telah merosot hingga kurang dari seratus tahun, umuat manusia mulai didera oleh penderitaan kemiskinan dan kelaparan, mereka lebih baik dalam kesiapan untuk menggapai kebenaran ketidak kekalan dan sebab akibat yang saling bergantungan, dan akan lebih dapat menerima ajaran spiritual tentang pembebasan. Demikianlah khususnya di benua kita Jambudvipa, dimana manusia relative lebih cerdas dan sumberdaya hidup yang terbatas. Melihat keadaan yang demikian, Bodhisattva menentukan saat dan tempat untuk kelahirannya kembali, yaitu di ‘Madhyadesa’ didataran tinggi dekat sungai Gangga di India Utara. Beliau memilih orang tua yang akan menjadi ayah ibunya, dinasti raja, yang lebih dihormati dari kaum brahmana, dan menemukan bahwa Maharaja Suddhodana dari Shakya merupakan figur yang sangat sesuai, yang berasal dari wangsa raja-raja termulia, bersama Mayadewi ratunya yang memiliki segala keagungan seluruh wanita dan pantas bagi kelahiran ajaib seorang Bodhisattva.
Sebelum meninggalkan Surga Tushita, Bodhisattva Svetaketu  memberikan mahkotanya kepada Bodhisattva Maitreya dan menetapkannya sebagai penerusnya di singgasana Dharmanya, itulah sebabnya Bodhisattva Maitreya dipastikan akan menjadi Buddha berikutnya didunia ini.
Selanjutnya, Bodhisattva Svetaketu turun kedunia dalam rupa seekor gajah putih yang tiada banding dengan  enam gading, sebagai symbol kebajikan tertinggi dibumi yang dipilihnya untuk terlahir kembali. Ratu Mayadewi sedang tidur sendirian di kediamannya setelah puasa uposatha, saat ia melihat tanda-tanda ajaib ini dalam mimpinya, dan ketika apa yang dilihatnya lebur kedalam tubuhnya, ia merasakan rasa bahagia dan sukacita yang luarbiasa. Selama dalam kandungan, Bodisattva berdiam dalam tempat yang disediakan oleh para dewa, dan berdiam disana selama sepeluh bulan penuh untuk mengungkapkan kesempurnaan nyata sepuluh tingkat Bodhisattvabumi. Pada masa itu beliau membimbing banyak Bodhisattva, Brahma dan Indra, dan juga takterbilang para Dewa, Naga serta Yaksha pada jalan yang membawa pembebasan.


3. Memperlihatkan tanda-tanda menakjubkan pada saat kelahirannya

Hormat kepadamu sang pangeran dari Shakya
Lahir setelah sepuluh bulan ditaman keberuntungan Lumbini
Dewa Brahma dan Indra berkunjung kesana untuk menghormatimu,
Bukutinyata, bahwa dirimu lahir kedalam keluarga para Jina

Ketika peristiwa kelahirannya berlangsung, terjadi beberapa peristiwa yang menakjubkan di Taman Lumbini, yang tidak terlalu jauh dari istana Shakya.  Seluruh pohon serta tanaman mengeluarkan bunga dengan lebatnya, bunga teratai permata bermekaran,  terdapat cahaya terang surgawi dan juga musik surgawi, istana alam-alam surga terlihat nyata. Dewi Maya melahirkan disana diatas kereta kencana dengan diiringi oleh Dewa Brahma dan Indra. Dewi Maya gembira dan berjalan beberapa langkah kedalam hutan, lalu mengangkat tangan kanannya meraih ranting pohon berbahu harum, yaitu pohon Sala yang berkasiat obat, sebagai pegangannya. Pada saat itu, sang pangeran keluar dari sisi kanan ibunya dalam bungkusan sinar terang, tanpa menyebabkan rasa sakit. Sinarnya memancar keseluruh triloka, menghalau kebodohan dan penderitaan makhluk hidup. Bumi bergetar, angkasa dipenuhi oleh beraneka persembahan yang membawa keberuntungan, dan disana juga terjadi hujan bunga yang sangat lebat, pohon-pohon serta semak belukar sarat oleh bunga serta buah.  Para dewa dewi berkumpul untuk bermuditacita atas kelahiran pangeran yang merupakan wangsa dari dari para Jina. Dewa Brahma dan Dewa Indra menyelimutinya dengan selimut lembut yang berhiaskan dengan permata, sementara Raja Naga mengusapnya dengan air wangi. Setelah itu sang pangeran beranjak, berdiri, dan melangkah sebanyak tujuh langkah kesetiap penjuru, sebagai tanda kesungguhannya terhadap praktik ‘brahmavihara’ atau catur apramana (empat hal yang tak terhingga) yaitu maitri, karuna, mudhita dan upeksha. Bunga teratai yang cemerlang menyembul dibawah setiap langkah kakinya.

Pada saat yang sama, lima ratus bayi laki-laki lahir didalam keluarga-keluarga mulia, delapan ratus bayi perempuan termasuk Yasodhara, lima ratus pelayan termasuk didalamnya Chandaka, dan juga lahir sepuluh ribu kuda termasuk didalamnya Kanthaka. Pohon bodhi suci muncul serta tumbuh tepat ditengah-tengah daratan Jambudvipa, dikelilingi oleh lima ratus taman dan juga lima ratus bejana harta. Segala keinginan Raja Suddhodana terpenuhi pada saat itu juga, itulah sebabnya sehingga ia memberi nama puteranya dengan nama ‘Siddhartha’ yang berarti terkabulnya segala keinginan. Setelah mengamati laksana serta tanda-tanda kemujuran yang terdapat pada tubuh pangeran yang baru lahir, Rshi dari keluarga Shakya menyatakan bahwa jika sang pangeran tinggal didalam istana dan mengatur kerajaan, ia akan menjadi seorang Raja Chakravarti (raja yang berkuasa atas seluruh dunia), akan tetapi bila ia meninggalkan kerajaan untuk mencari kebijaksanaan, ia akan melampaui seluruh batas serta mencapai kesempurnaan. Raja Suddhodana tidak berharap hal terakhir ini akan terjadi, ia sangat berkeinginan agar pangeran kelak dapat menjadi penggantinya. Karenanya dengan menyadari akan hal ini sang pangeran selanjutnya dibatasi berinteraksi dengan luar istana.


4. Sebagai pemuda sangat pandai dalam belajar dan ahli dalam permainan

Hormad kepadamu yang berusia muda serta singa diantara manusia
Yang mempertunjukkan kemahirannya dalam pertandingan ketangkasan
Mencabut keangkuhan setiap lawan
Dan berbuat tanpa bermusuhan

Ratu Mahamaya meninggal tujuh hari setelah melahirkan Pangeran Siddhartha, ia selanjutnya dibesarkan oleh bibinya, Mahaprajapati. Pangeran sangat pandai disekolah dan sebagai pemuda ia dengan mudah menguasai setiap bentuk keterampilan, sementara dalam bidang oleh raga ia sungguh tiada duanya. Ketika ayahnya mendesaknya memilih puteri keluarga bangsawan yang akan dijadikannya istri seperti Yasodhara, Pangeran Siddhartha telah memperlihatkan dirinya dalam pertandingan olah ketangkasan bersama para pemuda Shakya lainya yang sombong. Khususnya, sepupunya sendiri, Nanda dan Devadatta yang selalu iri hati kepadanya serta menginginkan kekalahannya. Dalam ketangkasan dan kecepatan, Devadatta melepaskan seekor gajah yang telah dikirimkan kepada Pangeran Siddhartha sebagai pemberian, lalu membunuhnya dalam satu tiupan. Untuk memamerkan kekuatannya Nanda mengangkat gajah tersebut dan melemparkannya hingga sampai tepat didepan gerbang istana. Akan tetapi Pangeran Siddhartha dengan hanya menggunakan jempol jari kakinya dapat menendang bangkai gajah tersebut hingga terlempar melintasi tujuh tembok benteng istana dan tujuh parit.

Selanjutnya mereka bertanding dalam berenang dan ketangkasan mengendarai gajah. Dalam berenang Pangeran Siddhartha memperlihatkan kemampuannya melintasi air melayang bagaikan seekor angsa. Dalam mengendalikan gajah, ia dapat memerintahkan gajah melakukan apapun yang ia inginkan. Hingga akhirnya, mereka menantang pangeran untuk mengadu kemampuan mereka dalam kemahiran serta kekuatan memanah. Yaitu menembus tujuh pohon palem, tujuh tembok besi dan tujuh kuwali secara berurutan dengan hanya menggunakan satu anak panah. Devadatta dapat menembus tiga pohon palem, Nanda mampu menembus lima, sedangkan anak panah yang dilepaskan Pangeran Siddharta menembus seluruh sasaran dengan mudah. Dan dari anak panahnya yang menancap ke bumi, menyembul mata air yang lalu menjadi telaga.


5. Mahir dalam bertindak mengatur urusan duniawi

Sujud kepadamu yang mengatur kerajaan dengan kesungguhan
Dalam kekompakkan  dengan para pengiring permaisuri
Hidup dengan cara biasa sebagai sarana
Demi dosa-dosa nafsu kiinginan yang terdahulu.

Saat telah cukup usia dan memahami tugas-tugas kerajaan, Pangeran Siddhartha mempunyai enam belas ribu orang selir, permaisurinya yang utama adalah Dewi Yasodara, Gopa dan Mrgaja, masing-masing dilayani oleh dua puluh lima ribu dayang-dayang. Dengan kebijaksaan seorang Bodhisattva, ia mengarungi kesenangan duniawi semata-mata hanya untuk  membuktikan bahwa kesenangan duniawi hanyalah ilusi, dan ia menjadi pasangan dari para istrinya serta ayah dari anaknya, dengan tetap bebas dari segala rupa noda nafsu keinginan, sekaligus sebagai cara baginya untuk membawa kebajikan bagi tiada terbilang rakyatnya. Pangeran Siddharta berdiam didalam puri dengan di temani oleh ayahnya, Raja Suddhodana dengan penghormatan sebagai seorang raja agung.

Namun demikian Pangeran Siddhartha tidak merasa puas dengan kehidupan yang dijalaninya, ia merasa begitu dahaga akan pengetahuan batin dan bermaksud untuk mencarinya. Pada suatu ketika, saat ia berhasil menyelinap keluar dari istana, ia pergi untuk melihat-lihat kota dengan ditemani oleh Chandaka kusirnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Pangeran Siddharta melihat penderitaan karena kelahiran, sakit, usia tua dan kematian dengan mata kepalanya sendiri serta menyadari dengan sangat mendalam maknanya. Hingga akhirnya munculah seorang pertapa pengembara dengan membawa mangkuk pandapatra dengan ekpresi ketenangan serta pelepasan. Pangeran Siddharta bertanya siapakah orang itu. Lalu Chandaka menjelaskan; “Dia adalah orang yang berpaling dari kehidupan duniawi dan untuk menemukan kebenaran.” Sejak saat  itu, tekad untuk meninggalkan keduniawian tumbuh sangat kuat dalam batinnya.



6. Pelepasan kehidupan duniawi

Sujud kepadamu yang memasuki kehidupan spiritual
Setelah memahami tiada artinya hakikat urusan duniawi
Engkau yang meninggalkan rumah tanggamu dengan terbang melalui angkasa
Menuju ke pangkal ‘Stupa Cemerlang’ dimana engkau  mengupasampada dirimu sendiri

Malam itu, Pangeran Siddhartha pada usianya yang ke dua puluh sembilan tahun, berjalan-jalan diatap istana ditengah malam, lalu bernamaskara kepada semua Buddha di sepuluh penjuru, dengan tekad agar dapar dengan cepat mencapai pencerahan demi kebajikan bagi semua makhluk dijaman kegelapan ini. Angkasa telah penuh oleh para dewa dewi dipimpin oleh Brahma dan Sakra Surapati, Lokhapala, Gandarva dan Naga, seluruhnya memuji-muji  kemuliaan tekadnya. Khawatir kalau-kalau puteranya  akan berusaha untuk meloloskan diri untuk menjalani kehidupan spiritual, sang raja telah menempatkan prajurit bersenjata untuk berjaga-jaga di seluruh pintu istana serta gerbang kota. Akan tetapi Arya Vajrapani dan Vaishravana telah membawa tangga yang dipersiapkan oleh para dewata. Sementara itu, Chandaka kusirnya yelah menuntun kuda Kanthaka keatap istana.  Pangeran menungganginya selanjutnya terbang melayang diangkasa, dengan para dewata dari alam surga Suddhavasa menopang di salah satu sisinya, dan para dewata dari alam keinginan menopangnya disisi lainya, sedangkan Dewa Brahma dan Dewa Indra sebagai penunjuk jalannya. Mereka terbang melintasi banyak kota dan desa, dan tiba di “Stupa Cemerlang” tepat saat  pagi menjelang.

Ada tiga buah stupa seperti itu didunia, yang menandai tiga orang Buddha masa lampau memasuki kehidupan sebagai pertapa dengan upacara memotong rambutnya. Melepas seluruh perhiasan emasnya, Pangeran Siddharta lalu menyerahkannya kepada pengiringnya, dan meminta mereka membawa pulang ke istana ayahnya. Chandaka menangis, bertanya kepada tuannya siapakah yang akan diikuti setelah kepergiaannya, hanya seorang diri dihutan. Pangeran menjawab: “Semua makhluk didunia ini dilahirkan sendirian, dan tentu akan mati juga sendirian, selain itu juga menanggung penderitaannya sendirian.  Sesungguhnya tak ada teman yang akan memanggul beban kita.” Oleh karena tidak adanya orang yang dapat melakukan upacara upasampada untuknya, pangeran memotong sendiri rambutnya yang panjang lalu melemparkannya ke langit.  Rambut itu diambil oleh Sakra Surapati, yang lalu membawanya ke surga Trayatrimsat-devalokha, dan disana disimpan didalam stupa untuk dipuja oleh para dewata. Karena pangeran telah menanggalkan pakian sutranya, Sakra Raja Para Dewa  membawakan jubah saffron untuk dipakainya yang telah dipersembahkan oleh Rshi sakti yang melihat peristiwa ini dimasa lampau. Selanjutnya pangeran berjalan sendirian, tanpa teman maupun bekal harta, mencari pemberian pindapatra ketika beliau berjalan, dijalan jalan Dharma yang sempurna.  Merasa bahwa dirinya tidak cukup jauh dari tanah kelahirannya, beliau lalu menyeberangi sungai Gangga menuju negeri Magadha.

7. Bertapa selama enam tahun

Sujud kepadamu yang telah bekerja selama enam tahun
Menjalankan pertapaan ditepi Sungai Nairanjana
Berusaha mencapai pencerahan melalui berbagai kesulitan
Engkau mencapai kesempurnaan Samadhi dhyana

Di Vaisali dan Rajagrha, bodhisattva mempelajari ajaran nihilisme dan juga empat macam samadi yang membawa pada kelahiran dialam Brahmalokha dibawah guru-guru terbaik pada masa itu, dimana dengan segera bodhisattva menyamai realisasi guru pembimbingnya. Akan tetapi karena mengetahui bahwa Samadhi seperti demikian tak akan membawa pada tercapainya kebebasan dari roda samsara, bodhisattva kemudian pergi. Ketika Raja Muda Bimbisara dari Rajagrha datang menemuinya di hutan tempat meditasinya, ia dikuasai oleh perasaan takjub serta keyakinan yang sangat kuat, lalu mempersembahkan separuh kerajaan kepada Bodhisattva Siddharta bilamana bersedia menjadi penasehat diistananya. Akan tetapi bodhisattva menolaknya dengan halus. Dengan masih beranggapan bahwa praktik penyiksaan diri akan dapat membawanya mencapai kesadaran diri, pencapaian tertinggi, bodhisattva berdiam dibawah pohon beringin di tepi timur Sungai Nairanjana bersama-sama dengan lima orang pertapa yang sama pemikirannya dengan beliau. Berdiam disana untuk waktu enam tahun berikutnya dalam praktik Samadhi dhyana. Ia hanya memakan sebutir nasi selama dua tahun pertama, setetes air untuk dua tahun yang kedua dan sama sekali tidak makan maupun minum apapun untuk dua tahun yang ketiga. Melihat pertapa yang sedang berpuasa,  tiga anak gembala yang sedang lewat berbuat iseng untuk mengganggu konsentrasi Samadhi mereka. Tiga anak gembala tersebut mewakili ketiga racun pikiran: tanha (nafsu keinginan), dvesa (kebencian)  dan moha (kebodohan batin).

Akhirnya, saat ketika para Buddha dan Bodhisattva dari sepuluh penjuru, datang bersama para dewata muncul, memujinya lalu memanggilnya agar bangkit, timbulah kesadaran dalam batin Bodhisattva Siddharta bahwa praktik penyiksaan diri adalah salah satu bentuk ekstrim, dan untuk selanjutnya praktik ‘Jalan Tengah’ lah yang merupakan bentuk antara dari kedua macam cara ekstrim tersebut yang akan dapat membawa tercapainya Pencerahan Sempurna. Dengan perlahan-lahan bodhisattva bangkit, lalu pergi mandi di sungai. Ia menyeberangi sungai yang lebar menuju keseberang, setelah mengeringkan jubahnya, bodhisattva berjalan menuju ke hutan dimana dalam perjalanan bertemu dengan seorang gadis desa bernama Sujata  yang datang membawa persembahan bubur untuknya yang diolah dari dadih susu yang diperah dari lima ratus ekor sapi merah. Itu adalah makanan pertama yang diterimanya setelah bertahun-tahun, dan makanan tersebut dengan segera memulihkan kecemerlangan tubuhnya hingga menjadi sehat kembali. Persembahan Sujata merupakan buah aspirasi dari banyak kehidupan sebelumnya, menjadikannya mendapatkan kebajikan yang amat besar karenanya. Ketika kelima pertapa temannya mengetahui bahwa bodhisattva telah memutuskan puasanya, mereka kecewa dan pergi meninggalkannya.

Selama enam tahun yang telah berlalu, Caturmaharaja, lokhapala, telah menyaksikan praktik puasa dari bodhisattva dari keempat penjuru, kini raja dewa tersebut menampakkan diri dan mempersembahkan patra (mangkuk) yang terbuat dari batu surgawi kepadanya. Menerimanya, bodhisattva menyatakan bahwa mereka kelak akan menjadi pelindung dari ajarannya. Setelah berjalan beberapa jauh kedalam hutan, bodhisattva betemu dengan seorang penggembala kerbau bernama Svasthi yang baru saja memotong rumput kusa panjang, yang selembut dan secemerlang bulu leher burung merak. Dengan penuh hormat Svasrhi mempersembahkan seikat rumput kusa kepada bodhisattva. Bodhisattva Siddharta menebarkan rumput tersebut sebagai alas duduk dibawah pohon beringin didalam hutan, dan berikrar akan tetap duduk disana hingga ia berhasil mencapai pencerahan sempurna.


8. Menakhlukan Mara

Sujud kepadamu yang telah mencapai pencerahan sempurna
Dibawah pohon Bodhi di Magadha
Yang meraih tingkat Kebuddhaan dalam padmasana taktergoyahkan
Yang menyebabkan daya upaya takterbilang kehidupan masa lampau membuahkan hasil

Pohon yang menaunginya adalah pohon Bodhi, atau pohon ‘pencerahan’, tanah tempatnya duduk adalah Vajrasana, atau ‘singgasana vajra (intan)’, pusat dunia, dimana para Buddha masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang mencapai pencerahannya. Tenggelam dalam Samadhi dhyana bodhisattva menakhlukan bala tentara Mara, ia menyebabkan alam Kebuddhaan bersinar menerangi ketiga alam rendah. Membebaskan tiada terhingga makhluk hidup dari penderitaan mereka dan juga menyebabkan terjadinya beranekan macam keajaiban. Ketika itu Mara muncul dihadapannya menyamar sebagai seorang pemburu, mempertanyakan pernyataan bodhisattva bahwa beliau telah mencapai pencerahan sempurna, ingin tahu apakah beliau mempunyai saksi. Bodhisattva menyentuh bumi dengan jari tengah tangan kanannya, dan berkata: “Bumi ini menjadi saksi bagi semua makhluk, ia tiada membedakan antara makhluk hidup serta yang tidak hidup.” Lalu Sthavara, dewi bumi, muncul menampakkan dirinya. “Saya bahkan tak sanggup untuk menghitung sudah berapa banyak tubuh dari bodhisattva mulia ini yang telah ditinggalkannya selama mengusahakan kesempurnaan.”, ujarnya menjelaskan, “dan sekarang adalah waktu baginya untuk meraih kemenangan”. Mara lalu menghilang dengan rasa malu. Lalu Mara mengirimkan ketujuh puterinya yang sangat molek yang ditugaskan untuk menggoda bodhisattva dengan daya tarik nafsu birahi, akan tetapi usaha ini juga tidak berhasil. Ketika bodhisattva dengan kekuatan realisasi ketidak kekalannya mengubahnya menjadi tujuh wanita uzur, dengan tanpa daya dan penuh iba mereka memohon agar dipulihkan kembali menjadi muda. Saat malam tiba, Mara mulai memperlihatkan wujutnya yang menakutkan, menciptakan bala tentara menakutkan sebanyak seribu trilyun yang sangat kuat. Akan tetapi karena telah merealisasikan dengan sempurna hakikat keberadaan sebagai ilusi, bodhisattva sama sekali bebas dari rasa takut dan cemas. Hanyut dalam Samadhi dhyana belas kasih dan kasih sayang, bala tentara kegelapan tak mampu untuk menyakitinya, seluruh senjata berapi yang dilemparkan kepadanya berhamburan ketanah berubah menjadi beraneka bunga, sehingga membuat mereka kebungungan.

Pada empat bagian terakhir malam, kilesha serta avarana lenyap dan rintangan bagi pandangan terang terhalau, bertepatan dengan munculnya bintang pagi pada purnama siddhi bulang ke empat, tepat pada saat hari lahirnya, Bodhisattva Siddharta,  Pangeran dari Shakya mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna. Bumi bergetar enam kali, Langit dipenuhi pelangi, aroma wangi dan bunga, sinar yang sangat terang terpancar dari tubuhnya, menerangi alam-alam rendah serta membebaskan makhluk hidup dari penderitaan.

9.      Memutar Dharmachakra

Hormat kepadamu, engkau yang memandang semua makhluk dengan belas kasih
Dan memutar Dharmachakra di Varanasi serta tempat suci lainnya
Menempatkan mereka yang mendengar ajaran
Pada ketiga kendaraan pencapaian

Dalam minggu pertama setelah pencapaian penerangannya, Sang Buddha berdiam dalam Samadhi di Vajrasana, terdapat tanda tanya dalam hati beliau bahwa akankah berguna menjelaskan kebenaran yang telah beliau raih kepada orang lain. Melihat hal ini, Dewa Brahma muncul mengingatkan beliau akan ikrar-ikrarnya yang lampau, mendesak beliau agar memukul tambur serta meniup sanka Dharma. Sakra Surapati memuji beliau dengan berkata: “Batinmu telah bebas bagaikan bulan purnama yang terlepas dari cengkeraman Rahu”, dan mendorongnya dengan berkata: “Usirlah kegelapan dunia dengan sinar kesadaran”. Meskipun hal ini ditolaknya, tetapi untuk ketiga kalinya, Dewa Brahma mempersembahkan kepadanya roda dharma dengan seribu jari-jari, dan menerimanya, Sang Buddha setuju untuk mengajarkan dharma hany terbatas pada orang Magadha yang penuh perhatian, berkeyakinan, bisa memilah-milah dan tidak tercela. Kabar bahwa beliau akan memutar Dharma dengan cepat tersebar hingga kealam dewa, sehingga para dewa mulai berkumpul serta menyiapkan persembahan. Mengetahui bahwa kelima teman pertapaannya yang dulu kini berada di Varanasi, beliau lalu pergi menuju kesana dan menemukan mereka di Taman Rusa Isipatana, diluar batas kota, ditempat suci dimana tiga Buddha di masa lampau memutar Dharmanya. Peristiwa ini terjadi pada hari ke empat bulan keenam.

Kelima pertama telah bersepakat diantara mereka untuk mengabaikan kedatangan kawan lamanya. Akan tetapi saat mereka melihat Sang Buddha dengan keagungan kesempurnaan penampilannya mereka sangat takjub dan langsung menanyakan kekuatan sakti apa yang telah diperolehnya. Sang Buddha menjelaskan kepada mereka bahwa beliau telah mencapai kesempurnaan seorang Tathagata. Seribu singgasana permata seketika muncul ditaman tersebut. Sang Buddha kemudian bernamaskara tiga kali didepan singgasana permata tiga Buddha masa lampau, lalu duduk diatas singgasana yang keempat, lalu singgasana yang lain menghilang. Demi kebajikan bagi kelima pertapa serta delapan puluh ribu para dewata, Gandharva, Yaksa, Naga serta semua yang berkumpul disana, beliau memutar Dharmachakra tentang ‘Jalan Tengah’. Beliau menguraikan Catur Aryasatyani (empat kebenaran arya) sebanyak tiga kali dan dalam dua belas cara dan Astha Aryamarga (delapan jalan para arya). Seusai mendengarkan jarannya, kelima pertapa kemudian memohon upasampada (penabisan) sekaligus menjadi anggota Sangha yang pertama. Itu adalah Dharmachakranya yang pertama, yang merupakan vinaya pitaka.  Beberapa masa kemudian beliau memutar Dharmachakranya yang kedua diatas bukit Grijakutta di Rajagrha, yang  berkaitan dengan sutra pitaka dihadapan Arya Sariputra, Maudgalyayana dan lima ribu orang arhat lainnya, bhiksuni Arya Prajapati Gotami bersama lima ratus orang bhiksuni lainnya, Upashaka Anathapindaka, Upashika Vishaka bersama sejumlah besar para upashaka dan juga upashika lainnya, para dewata, Naga dan juga Gandharva. Lalu Dharmachakranya yang ketiga berkaitan dengan abhidharma pitaka beliau putar di Gunung Malaya Giri serta tempat-tempat lainya dihadapan pesamuhan para Bodhisattva.


10.  Turun dari alam Surga Trayatrimsat

Lima tahun kemudian, pada saat beliau berusia empat puluh satu tahun, Sang Buddha melihat bahwa para dewata di Surga Trayatrimsat Dewalokha memiliki potensi untuk dilatih dalam kebajikan, dan ditempat itu juga ibunya, Dewi Mahamaya telah terlahir kembali diantara para dewa.  Setelah menetapkan Arya Maudgalyayana sebagai wakilnya dibumi, beliau pergi ke Surga Trayatrimsat serta melewatkan masa vasanya disana. Dewa Sakra Surapati, merasa sangat risau mengetahui bahwa beberapa Dewaputera akan jatuh kealam neraka. Sehingga Sang Buddha mengajarkan kepada mereka suatu praktik untuk mengangkap makhluk hidup dari alam rendah dan juga mengajarkan Unishavijaya Dharani. Saat ketika para dewa menderita kekalahan melawan bala tentara Asura dan Indra datang kehadapannya dalam kecemasan, Sang Buddha mengajarkan kepada mereka Usnishasitatapra Dharani dan memulihkannya. Pada saat Arya Avalokiteshvara membangun stupa dialam tersebut, Sang Buddha mengajarkan ‘sari pratityasamudpada’ sebagai pemberkatan. Ketika Arya Maitreya memohon kepadanya untuk meringankan penderitaan makhluk hidup di Jambudvipa, beliau mengirimkan manifestasi kemurkaan untuk meredakan roh jahat pengganggu, dan mengajarkan Achala tantra. Sang Buddha melewatkan waktu tiga bulan masa vasa disana, bersama dengan Ananda, Sariputera, Mahakasyapa, Subhuti serta delapan ribu orang Arhat lainnya, beliau juga membimbing ibunya serta tak terbilang para dewa lainnya kejalan menuju pembebasan.

Karena musim hujan telah berakhir di bumi, Raja Bimbisara bersama dengan empat kumpulan siswa (bhiksu, bhiksuni, upashaka dan upashika) berulang kali memohon kepada Arya Maudgalyayana agar mengundang Sang Buddha kembali, memohon bahwa sementara para dewa bebas untuk turun ke bumi sesuai yang mereka inginkan, umat manusia tak dapat bertemu dengan Sang Buddha jika beliau berdiam di surga. Arya Maudgalyayana berangkat ke Surga Trayatrimsat dalam sekejap mata untuk menyampaikan permohonan mereka, dan Sang Buddha setuju setelah tujuh hari akan kembali ke bumi dengan turun di Kashi (Varanasi). Saat mendengar kabar yang demikian, Raja Udrayana memerintahkan agar membersikan jalan-jalan dan mempersiapkan persembahan-persembahan istimewa sebagai penyambutan. Atas perintah Sakra Surapati, Visvakarman sang dewa ahli seni dan bangunan membuat tangga dengan tiga kolom. Kolom tengah yang akan dilalui oleh Sang Buddha terbuat dari permata vaidurya (safir), kolom sebelah kanan, dimana Dewa Brahma serta para dewata dari Suddhavasa akan melaluinya sambil mengipasi Sang Buddha, dibuat dari emas. Sementara kolom yang disisi kiri, dimana Sakra Surapati akan melaluinya bersama dengan para dewa alam keinginan sambil memayungi Sang Buddha dengan payung permata, terbuat dari kristal. Pada hari dua puluh dua, bulan kesembilan, Sang Buddha bersama para dewata pengiringnya turun di Kashi, disambut oleh Raja Udrayana bersama dengan ke empat kumpulan siswa.
Trayatrimsa, surga tigapuluh tiga dewa, dikatakan berada di puncak Gunung Sumeru. Warna biru disisi selatan Gunung Sumeru, memantul kemari, menyebabkan langit kita (Jambudvipa) yang berada dipenjuru selatan berwarna biru. Tiga penjuru lainya berbeda warna.


11. Unggul dalam pertandingan keajaiban di Sravasti

Sujud kepadamu yang melakukan keajaiban luarbiasa di Sravasti
Dengan kemampuan yang tiada tertandingi diseluruh triloka
Sehingga karenanya para dewa dan manusia menyukai Dharma
Dan ia menyebar sangat luas

Enam orang thirtika (pertapa hindu) dipimpin oleh Purnakasyapa menjadi marah serta iri terhadap keagungan Sang Buddha. Mereka mendesak Sang Buddha untuk saling mengadu kekuatan ghaib (abhijnana), karena Mara telah meyakinkan mereka bahwa mereka akan menjadi pemenang. Raja Bimbisara menertawai mereka saat mereka mengajukan ide tersebu. Akan tetapi mereka terus mendesak hingga akhirnya Raja Bimbisara menanyakan kesediaan Sang Buddha. Mengenai hal ini. Sang Buddha setuju, tetapi beliau akan memilih kapan waktunya melakukan perlombaan yang tepat. Tahta singgasana untuk mengajar didirikan ditempat yang luas di Rajagrha, tetapi tak lama sebelum perlombaan dimulai, Sang Buddha bersama dengan seluruh siswanya berangkat ke Vaisali. Menganggap hal ini sebagai tanda kekalahan, keenam thirtika kegirangan lalu bergegas menyusul Sang Buddha dengan diiringi oleh sembilan puluh ribu orang pengikut, dibelakang mereka menyusul Raja Bimbisara dengan seluruh punggawanya. Pertapa thirtika tersebut mendesak Raja Licchavi untuk mengadakan pertandingan tersebut disana, Sang Buddha juga menerima tantangan tersebut, akan tetapi beliau akan menetapkan waktunya. Setelah itu beliau kembali berangkat, dari satu kota ke kota lainnya, setiap kali beliau memberi jawaban yang sama, dalam perjalanan tersebut beliau mendapatkan banyak pengikut baru, hingga akhirnya tiba di Sravasti. Tak lama kemudian para pertapa thirtika juga tiba, mereka meminta Raja Prasenajit agar tidak membiarkan Sang Buddha untuk kembali menghindar. Sang Buddha sendiri menganggap bahwa saatnya telah tiba untuk memenuhi ajakan mereka. Pada hari pertama (tanggal satu), bulan pertama musim semi, beliau duduk diatas singgasana singa disebuah taman di luar kota, dan dipuja dengan berbagai macam bentuk persembahan. Didepan para raja dari negeri-negeri yang dilaluinya, keenam pertapa thirtika bersama para pengikut mereka dan juga kerumunan besar para dewa serta manusia, beliau melakukan keajaiban luar biasa yang tiada terlukiskan selama lima belas hari.

Pada hari pertama, beliau menciptakan pohon-pohon pengabul keinginan (kalpavreksa). Pada hari kedua menciptakan gunung-gunung permata. Pada hari ketiga menciptakan telaga permata, hari keempat suara keluar dari dalam telaga menguraikan segala aspek Dharma.  Pada hari kelima sinar keemasan memancar dari wajahnya, memenuhi seluruh semesta raya dan menyucikan racun kilesha pada semua makhluk. Pada hari yang keenam, beliau membuat setiap orang dapat membaca pikiran mereka satu sama lain. Pada hari ketujuh, beliau mengubah para penyokongnya menjadi Raja Chakravarti. Pada hari kedelapan, Sang Buddha menekan singgasananya  dengan jari tangan kanannya, dan dengan gelegar suara petir, Krodha Vajrapani keluar dari bawah singgasananya memegang vajra yang menyala-nyala mengarahkannya kepada keenam pertapa thirtika dan empat yaksa dalam barisan mereka tunggang langgang serta merobohkan singgasana mereka. Para pertapa thirtika tersebut sedemikian takutnya hingga mereka menceburkan dirinya kedalam sungai hingga basah kuyup. Selanjutnya Sang Buddha memancarkan delapan puluh empat ribu sinar, dari setiap pori-pori kulitnya, yang menenuhi seluruh cakrawala. Diatas setiap butir cahaya tersebut terdapat bunga teratai, dimana diatasnya duduk seorang Buddha bersama para pengiringnya, mengajarkan Dharma. Semua yang hadir sangat takjub, beberapa dari mereka bahkan mencapai pembebasan hanya dengan menyaksikan peristiwa ini. Sembilan puluh ribu orang pengikut keenam pertapa tirthika tersebut kemudian bergabung kedalam Sangha, yang pada akhirnya mereka menjadi Arhat. Demikianlah peristiwa keajaiban yang dilakukan oleh Sang Buddha di Sravasti.  


11. Memasuki Nirvana

Sujud kepadamu engkau yang telah mengatasi penderitaan
Di tanah tanpa noda Kusinagara
Engkau yang meninggalkan tubuh Vajrakayamu
Dengan maksud untuk membuat bergegas pelepasan para pengikutmu yang malas.

Meskipun beliau telah mencapai tingkat seorang Tathagata yang telah menakhlukan seluruh bala tentara Mara dan telah mengatasi kelahiran serta kematian. Pada usia delapan puluh tahun, Sang Buddha memutuskan untuk memasuki Parinirvana dengan maksud untuk mempengaruhi sebagian besar para siswanya yang masih terbelenggu oleh ilusi kekekalan dan keberadaan samsara, disebabkan oleh rasa puas mereka. Beliau menyerahkan tanggung jawab untuk melindungi ajaran serta keempat kumpulan siswa kepada Mahakasyapa, dan membimbing siswa terakhirnya, Gandharva Pramoda dan Tabib Subhadra, menuju kebebasan.
Beliau pergi menuju Kurinagara, dan tiba untuk beristirahat di hutan pohon Sala diluar kota. Duduk diatas singgasana singa, beliau mengungkapkan kehendaknya untuk meninggalkan dunia, dan berkata kepada para siswanya bahwa bilamana mereka masih memiliki keragu-raguan terhadap ajarannya, sekaranglah waktunya untuk menjernihkannya. Ananda menjawak bahwa tidak ada lagi keragu-raguan terhadap ajarannya.lalu Sang Buddha melepaskan jubahnya untuk memperlihatkan bagian atas tubuhnya, sambil berkata: “Lihatlah, oh para bhiksu, tubuh Sang Tathagata, sungguh langka didunia ini. Ia tak akan berakhir, sebagaimana segala yang terbentuk menjadi subjek dari penghancuran! Arahkan dirimu sendiri dengan tekun untuk mencapai kebebasan!” Beliau selanjutnya berbaring disisi kanan tubuhnya dalam posisi singa, dan memasuki Parinirvana. Bumi bergetar, bintang yang terang benerang muncul diangkasa.
Para bhiksu yang telah menerima ajarannya merasa malu serta menyesal bahwa mereka tidak cukup berusaha keras dalam bimbingannya. Sementara mereka yang masih muda serta bagru bertemu dengan sang Buddha merasa sedih telah melewatkan kesempatan berharga, sehingga semua lebih bersemangat lagi untuk menyelami ajarannya, sehingga beberapa dari mereka ada yang mencapai keempat macam tingkat kesucian. Akan tetapi siswa terdekat Sang Buddha, Ananda yang juga sepupunya, tak dapat menyingkirkan kesedihannya, ia terpaku seorang diri di hutan Sala sambil menangis.
Setelah beliau dikremasikan, abu serta reliknya dibagi diantara siswanya, disimpan didalam delapan macam stupa besar, yang akan terus ada untuk menjadi sarana berbakti serta mengumpulkan kebajikan bagi mereka yang penuh keyakinan.













Kamis, 05 Agustus 2010

Slokha Slokha Kehidupan Masa Lampau Sang Buddha

Oleh: Acharya Arya Sura

Namo!

Engkau sucikan seluruh kelahiran rendah
Semua makhluk dari ketiga alam kehidupan,
Kepada mu, singa dari Shakya,
Yang memutar roda Dharma, aku menghormad!

Kepada Bodhisattva yang pemberani,
Yang mempraktikkan kemurahan hati dengan sempurna,
Dalam kelahiran sebagai harimau betina, Raja Shibhi, Raja Kosali,
Dua pedagang, kelinci,
Agastya, Maitribala yang memberikan dagingnya sendiri,
Vishvantara, upacara korban, aku menghormat!
Semoga diriku juga mencapai kesempurnaan paramita,
Kemurahan hati (dana paramita), sama seperti mu!

Kepada Bodhisattva yang pemberani,
Yang mempraktikkan disiplin sila,
Dalam rangkaian kelahiran sebagai Shakra, Brahmana,
Unmadayanti, Suparaga,
Ikan, bayi puyuh, kendi arak,
Putra orang kaya, pertapa dan bendahara, aku menghormat!
Semoga diriku juga mencapai kesempurnaan paramita,
Disiplin pengendalian diri(Sila paramita), sama seperti mu!

Kepada Bodhisattva yang pemberani,
Yang mempraktikkan kesabaran sempurna,
Dalam sepuluh rangkaian kelahiran Kuddhabodhi, angsa, Mahabodhi,
Kera, Rusa Sharabha, rusa ruru, Raja Kera,
Kshantivadin, DewaBrahma, dan Hasti, aku menghormat!
Semoga diriku juga mencapai kesempurnaan paramita,
Kesabaran (ksanti paramita), sama seperti mu!


Keterangan

Untuk lebih menjiwai ajaran Buddha, pelajari teladan kehidupannya dimasa lampau. Membaca kisah-kisah tersebut, akan membentuk kepribadian utuh seorang pencari kebahagiaan sejati.

Bukan hanya logika yang akan kenyang oleh beraneka filosofi dan gagasan, tetapi bagaimana nilai-nilai tersebut hidup nyata dalam pribadi manusia.

Saya telah menterjemahkan Jatakamalla, dan semua nama yang tersebut terdapat di kitab tersebut.

Jika anda tidak memiliki buku tersebut, sumber lain bisa dilihat di sini:

Pujian Singkat Pada Kegiatan Sang Buddha


Oleh: Aryasura

Ketika engkau lahir, Oh Narapati (pemimpin manusia),
Engkau berjalan tujuh langkah di bumi ini dan berkata:
"Di dunia ini aku lah yang tertinggi."
Kepadamu, Oh Sang Bijak, aku memberi penghormatan!(1)

Pertama, engkau turun dari surga Tushita,
Dan didalam puri kerajaan memasuki rahim ibumu;
Di taman di Lumbini, Oh Pertapa, engkau lahir:
Kepada Sang Penakluk 'dewa di antara para dewata', aku memberi penghormatan! (2)

Engkau yang dilayani oleh tiga puluh dua pelayan di istana,
Engkau menghabiskan masa mudamu dalam permainan di puri Shakyas;
Di Kapilavastu engkau mengambil Gopa sebagai istri mu:
Untuk mu yang tiada banding di triloka, aku memberi penghormatan! (3)

Di keempat gerbang kota, engkau memperlihatkan empat macam kesedihan,
Dan memotong rambut mu sendiri di depan Vishuddha Stupa;
Di tepi sungai Nairanjana engkau menjalankan hidup sebagai pertapa:
Kepada mu yang telah bebas dari kesalahan akan dua rintangan, aku memberi penghormatan! (4)

Di Rajagriha engkau menjinakkan gajah liar,
Di Vaishali kera memberimu persembahan madu;
Di Magadha, Oh Pertapa, engkau mencapai Kebuddhaan:
Kepada mu dimana kebijaksanaan yang mahatahu mekar, aku memberi penghormatan! (5)

Di Varanasi engkau memutar roda Dharma,
Dan di Taman Jeta engkau memperlihatkan keajaiban hebat;
Dan di Kushinagara batin kebijaksanaan mu memasuki Parinirvana:
Untuk mu yang batinnya (luas) laksana angkasa, aku memberi penghormatan! (6)

Melalui kebajikan dari pujian singkat ini
Terhadap kegiatan Sang Buddha, Sang Guru Dharma,
Semoga tindakan-tindakan semua makhluk hidup
Menjadi sebanding dengan aktifitas dari Sang Sugata sendiri. (7)

Oh Sang Sugata, semoga diri saya serta orang lain memiliki wujut,
Pengiring, masa hidup, alam suci
Dan tanda-tanda kesempurnaan luhur
Persis sebagaimana dirimu. (8)

Melalui kekuatan pujian ku kepada mu dan doa ini,
Di negeri manapun kami berdiam, semoga
Penyakit, ketidakbajikan, kemiskinan serta konflik dapat dipadamkan,
Dan Dharma serta kemujuran berkembang dan menyebar. (9)

Diterjemahkan oleh: Romo Sumatijnana

Jumat, 23 April 2010

Permata Dharma Komunitas Bhumisambhara

Candi Borobudur, duplikasi alam Aryasabdha



Mahayana Bhumisambhara 

Ajaran Bhumisambhara Dharma berasal dari Buddha Vairochana, Bodhisattva Samantabhadra, Raja Mahabhala Prabha hingga akhirnya sampai pada Raja Sanggrama Dananjaya (Syailendra-wangsa-tilaka) yang lalu mewujudkan ajaran tersebut di Candi Borobudur (Jinalaya Bhumisambhara Buddha).

Raja Sanggrama lah yang mengawali berdirinya Candi Kalasan untuk Dewi Tara, Candi Mendut simbol Sang Tri Ratna, Candi Borobudur serta Candi Sewu untuk Dharmadhatu Manjushri. 

Setelah menghilang selama lebih dari 1000 tahun berkait dengan perubahan karma masyarakat nusantara. Berdasarkan hubungan karma dimasa lampau, Romo Sumatijnana kemudian menghidupkan kembali ajaran Mahayana tradisi Indonesia ini pada tahun 2001